“Guru adalah orang tua di sekolah”. Kata-kata itu sering
kita dengar dan sering menjadi sebuah frasa yang disebut-sebut banyak orang.
Akan tetapi hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Apakah semua guru
seperti itu? Itulah pertanyaan yang ada di benak saya sekarang.
Saya sedang menempuh tingkat dua sebagai mahasiswa. Saat saya
masih berseragam dulu, saya bukan tipe orang yang dekat dengan guru saat di
sekolah. Walaupun sampai sekarang saya tidak lupa siapa saja guru-guru yang
telah mengajar saya di sekolah, tapi saya tidak terlalu mengenal mereka sebagai
‘orang’ atau bahkan orang tua. Saya mengenal mereka hanya sebagai guru di sekolah
saja.
Bulan Juni lalu saya berkesempatan untuk menjadi trainer
sebuah software menajemen sekolah dalam sebuah program dari pemerintah Jawa
Barat. Pekerjaan saya adalah memberi tahu cara pemakaian software ini sekaligus
sosialisasi untuk menerapkan menejemen sekolah berbasis IT. Yang saya training
adalah guru-guru SD dan SMP di daerah Jawa Barat yang berbeda-beda.
Awalnya saya anggap ini adalah pekerjaan mudah, karena saya hanya
harus memberitahu cara penggunaan software ini yang mana seharusnya bisa
dipelajari sendiri. Tapi kenyataannya tidak semudah yang saya bayangkan.
Saya merasakan langsung, saat menjadi trainer, kurang lebih
saat itu juga saya sedang menjadi guru bagi guru-guru yang saya latih. Jadi sekarang
gantian saya yang menjadi guru, dan guru-guru menjadi murid saya. Suasana
sekolah memang sangat tersasa, karena kebetulan pelatihan yang dilakukan
memakai gedung sekolah.
Dari pelatihan ini, saya tahu bagaimana susahnya menjadi
guru. Bagaimana susahnya menarik perhatian murid-murid di kelas, bagaimana
susahnya agar ucapan kita didengar banyak orang, dan banyak hal yang saya
anggap sulit untuk dipelajari hanya dalam waktu yang sebentar.
Dari pelatihan ini, saya dapat mengenal berbagai karakter
guru-guru. Saya baru menyadari, bahwa guru itu benar-benar bukan hanya guru di
sekolah, tapi memang memiliki potensi untuk menjadi orang tua di sekolah.
Salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari pelatihan
tersebut juga adalah bahwa kemampuan komunikasi memang sangat dibutuhkan untuk
menjadi guru. Keadaaan kelas tidak terlalu berbeda dengan saat saya bersekolah
dulu. Saya menjadi ‘guru’ yang berbicara di depan seolah hanya ‘menyuapi’
murid-muridnya. Karena pada awalnya saya menganggap remeh, menjadikan saya
kurang persiapan, sehingga cara saya menyampaikan yaitu dengan format umum:
guru bicara, murid mendengarkan, sehingga wajar bila menurut saya sebagian
guru-guru tersebut merasa bosan. Sama bosannya dengan yang dirasakan kebanyakan
murid-murid sekolah.
Di tengah tengah penjelasan saya, kadang ada guru yang aktif
mengeluarkan guyonan agar suasana dalam kelas menjadi cair. Saya rasa, guru
yang seperti itu pasti dicintai muridnya karena benar-benar melakukan
komunikasi yang baik. Dari pada cara saya menyampaikan materi pelatihan yang
masih dengan cara konvensional sperti yang saya sebutkan, yaitu ‘menyuapi’.
Saya juga punya sebuah opini. Dalam pengamatan saya,
kebanyakan guru Indonesia saat ini tidak berkomunikasi dengan sungguh-sungguh
terhadap muridnya. Hanya sekedar penyampaian materi seperti yang saya lakukan. Sehingga
guru sebagai orangtua, atau bahkan sebagai pahlawan hanya wacana. Orang tua
pasti akan berkomunikasi dengan anaknya secara sungguh-sungguh dan dengan cara
yang pasti akan menarik anaknya. Begitu juga pahlawan. Saat Bung Karno
berpidato, adakah yang tidak mendengarkan?
Kemampuan seperti inilah yang harus dimiliki sorang guru.
Kemampuan mencairkan suasana, menarik perhatian saat bicara, dan segala yang
saya sebutkan ditas, mutlak harus dimiliki, agar tercipta komunikasi yang baik
dan suasana kelas yang menyenangkan, yang membuat murid-murid betah di kelas,
seperti seorang anak yang betah tinggal di rumah.